1. MU’AHADAH
(Mengikat Perjanjian)
“Dan tepatilah perjanjian dengan
Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu)
itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai Saksimu
(terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah Mengetahui apa yang kamu
perbuat.” (QS. An Nahl 16:91)
Cara
Mu’ahadah : Hendaklah seorang mu’min berkholwat (menyendiri) antara dia dan
Allah untuk mengintrospeksi diri seraya mengatakan pada dirinya: “Wahai jiwaku,
sesungguhnya kamu telah berjanji kepada Rabbmu setiap hari disaat kamu berdiri
membaca”.”Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon
bantuan”. Wahai jiwaku, bukankah dalam munajat ini engkau telah berikrar tidak
akan berhamba selain kepada Allah, tidak akan meminta pertolongan selain
kepada-Nya. Tidakkah engkau telah berikrar untuk tetap komitmen kepada shiratal
mustaqim yang terbebas dari kerumitan dan liku-liku perjalanan … Tidakkah
engkau telah berikrar untuk berpaling dari jalan orang-orang sesat dan dimurkai
Allah ? Kalau memang demikian, hati-hatilah wahai jiwaku. Janganlah engkau
langgar janjimu setelah Dia engkau jadikan sebagai pengawasmu. Janganlah engkau
mundur dari jalan yang telah ditetapkan oleh Islam setelah engkau jadikan Allah
sebagai saksimu. Hati-hatilah jangan sampai engkau mengikuti jalan orang-orang
yang sesat dan menyesatkan setelah engkau jadikan Allah sebagai penunjuk jalan.
Hati-hati wahai jiwaku, jangan engkau ingkar setelah beriman, jangan tersesat setelah
engkau mendapat petunjuk, janganlah engkau menjadi fasiq setelah beriltizam
(komitmen) … Barang siapa melanggar maka akibatnya akan menimpa dirinya, barang
siapa tersesat maka kesesatannya itu akan menimpanya.
Bila
Anda mengharuskan diri untuk komitmen terhadap janji yang diikrarkan 17 kali
dalam sehari itu, kemudian anda mewajibkan supaya anda meniti tangga menuju
ikrar tersebut … maka anda telah meniti tangga menuju taqwa.
2.
MUSYARATHAH
(Penetapan Syarat) (16:91)
Jiwa
dan hati memerlukan ikatan janji harian. Jika manusia tidak mengikat jiwanya
dengan janji harian niscaya akan mendapati jiwanya telah banyak menyimpang,
sebagaimana akan mendapati hatinya telah kesat dan lalai.
Caranya : Apabila hamba memasuki waktu shubuh dan telah usai melaksanakan
shalat shubuh maka hendaknya ia meluangkan hatinya sesaat untuk menetapkan
syarat terhadap jiwa seraya berkata kepada jiwa: Aku tidak mempunyai barang
dagangan kecuali umur; jika ia habis maka habislah modal sehingga tidak ada
harapan untuk melakukan perdagangan dan mencari keuntungan. Di hari yang baru
ini Allah telah memberi tempo kepadaku. Dia memperpanjang usiaku dan
melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia tersebut. Seandainya Allah mematikan
aku niscaya aku berandai-andai sekiranya Allah mengembalikan aku ke dunia
sehari saja agar aku dapat beramal shalih. Anggaplah wahai jiwa bahwa engkau
telah meninggal kemudian dikembalikan lagi ke dunia, maka janganlah sampai kamu
menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang tiada terkira
nilainya. Ketahuilah wahai jiwa, bahwa sehari semalam adalah duapuluh empat
jam, maka bersungguh-sungguhlah pada hari ini untuk mengumpulkan bekalmu dan
janganlah engkau biarkan perbendaharaanmu kosong, dan janganlah kamu cenderung
kepada kemalasan, kelesuan dan santai sehingga kamu tidak dapat meraih derajat ‘illiyyin
sebagaimana orang selainmu telah mendapatkannya.
3.
MURAQABAH
(Pengawasan)
“Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha
Penyayang. Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang) dan
(melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (Asy
Syu’araa’ 217-219)
Makna: merasakan keagungan Allah di setiap
waktu dan keadaan serta merasaka kebersamaan-Nya di kala sepi ataupun ramai.
Caranya : Sebelum memulai suatu
pekerjaan dan disaat mengerjakannya, hendaklah seorang mu’min memeriksa dirinya
… Apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal dan ketaatannya dimaksudkan untuk
kepentingan pribadi ataukah karena dorongan ridha Allah dan menghendaki
pahala-Nya? Jika benar-benar karena ridha Allah, maka ia akan melaksanakannya
kendatipun hawa nafsunya tidak setuju dan ingin meninggalkannya. Kemudian ia
menguatkan niat dan tekad untuk melangsungkan ketaatan kepada-Nya dengan
keikhlasan sepenuhnya dan semata-mata demi mencari ridha Allah. Itulah hakikat ikhlas.
Macam-macam
Muroqobah :
- Muroqobah dalam melaksanakan ketaatan adalah dengan ikhlas kepada-Nya
- Muroqobah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara total
- Muroqobah dalam hal-hal yang mubah adalah dengan menjaga adab-adab terhadap Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya
- Muroqobah dalam musibah adalah dengan ridha kepada ketentuan Allah serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran.
4.
MUHASABAH
(introspeksi diri) setelah Beramal
Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al Hasyr:18)
Muhasabah
ialah : Hendaklah seorang mu’min menghisab dirinya sendiri ketika selesai
melakukan amal perbuatan … apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan ridah Allah?
Atau apakah amalnya dirembesi sifat riya’? Apakah dia sudah memenuhi hak-hak
Allah dan hak-hak manusia?….
5. MU’AQABAH (Menghukum Diri atas Segala Kekurangan)
“Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah 2:179)
Apabila seorang mu’min menemukan
kesalahan maka tak pantas baginya untuk membiarkannya. Sebab membiarkan diri
dalam kesalahan akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain
dan akan semakin sulit untuk meninggalkannya. Bahkan sepatutnya dia memberikan
sanksi atas dirinya dengan sanksi yang mubah (Misalnya dengan menginfakkan
sejumlah harta, atau dengan mengerjakan beberapa raka’at shalat sunat). Hal ini
merupakan peringatan baginya agar tidak menyalahi ikrar, disamping merupakan
dorongan untuk lebih bertaqwa dan bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.
6.
MUJAHADAH
(Bersungguh-sungguh memaksa diri)
“Dan orang-orang yang berjihad untuk
(mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik.” (Al Ankabuut:69)
Apabila
seorang mu’min terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi
melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya
maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari sebelumnya.
Hal-hal
yang harus diperhatikan :
·
Hendaklah
amal-amal yang sunnah tidak membuatnya lupa akan kewajiban yang lainnya
·
Tidak
memaksakan diri dengan amal-amal sunnah yang di luar kemampuannya
7.
MU’ATABAH
(Mencela Diri)
Jalan yang harus Anda
tempuh adalah berkonsentrasi menghadapinya lalu menyadarkan akan kebodohan dan
kedunguannya. Katakanlah kepadanya, “Wahai jiwa, betapa besar kebodohanmu; kamu
mengaku bijaksana, cerdas dan tanggap padahal kamu sangat bodoh dan dungu! Tidakkah kamu tahu di
hadapanmu ada sorga dan neraka dan bahwa kamu pasti segera memasuki salah
satunya? Mengapa kamu berbangga dan sibuk dengan permainan padahal kamu
dituntut perkara yang mahapenting? Hari ini atau esok hari kamu bisa saja kamu
meninggal, tetapi mengapa aku melihatmu memandang kematian sangat jauh padahal
Allah melihatnya sangat dekat? Mengapa kamu tidak bersiap-siap menghadapi
kematian padahal ia lebih dekat kepadamu dari setiap hal yang dekat?
Tujuan munajat
orang-orang ahli ibadah adalah mencari ridha-Nya dan maksud celaan mereka
adalah memperingatkan dan meminta perhatian. Siapa yang mengabaikan mu’atabah
dan munajat berarti ia tidak menjaga jiwanya, dan bisa jadi tidak
mendapatkan ridha Allah.
Maraji’
Sa’id bin Muhammad Daib Hawwa, Mensucikan
Jiwa : Konsep Tazkiyatun nafs Terpadu
Dr.
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah Ruhiyah : Petunjuk Praktis Mencapai Derajat
Taqwa
0 komentar:
Posting Komentar