Selasa, 27 September 2016

BELAJAR MEMBACA AL-QUR’AN TAK PENTING ???

Al-qur’an adalah kalamullah yang siapa membacanya akan bernilai ibadah disisi Allah Subhanahuwataalla. Al-qur’an merupakan kitab suci yang dimani setiap muslim dan ianya merupakan salah satu rukun islam. Al-qur’an adalah panduan hidup manusia dalam menjalankan kehidupan didunia ini, disana ada hukum, ada sejarah ada perintah bagi manusia. Anehnya Al-qur’an yang memiliki posisi penting dalam kehidupan setiap muslim tidak memiliki perhatian khusus bagi sebagian besar umat Islam.

Disini saya akan menjelaskan satu bagian dari banyak bagian Al-qur’an diabaikan umat Islam, yaitu Belajar membaca Al-qur’an. Tidak sedikit umat Islam yang tidak benar membaca Al-qur’an, bahkan tidak bisa membaca Al-qur’an. Mengapa bisa terjadi demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan membagi beberapa jawaban sebagai berikut:

  •  Menganggap Al-qur’an tidak penting


Banyak umat islam yang tidak lagi menganggap Al-qur’an itu penting bagi kehidupannya, karena sibuk dengan urusan dunia. Hal ini sebagaimana disebutkan didalam Al-qur’an
وَقَالَ الرَّسُوْلُ يَرَبِّ إِنَّ قَوْمِ اتَّخَذُوْا هَذَا الْقُرْاَنَ مَهْجُوْرًا
Rasul berkata : Ya Tuhanku sesungguhnya kaumku telah menjadikan Al-Quran ini sesuatu yang diacuhkan. (QS. Al-Furqan [25] : 30)

  • Tidak punya kemauan yang kuat untuk belajar Al-qur’an


Minimnya semangat umat islam dalam belajar Al-qur’an menjadi salah satu sebab banyaknya jumlah umat islam yang tidak pandai membaca Al-qur’an. Untuk bisa membaca dengan baik seseorang harus meluangkan waktu untuk belajar Al-qur’an, karena tidak mungkin bisa membaca Al-qur’an jika tidak belajar. Islam memberikan motivasi yang tinggi dalam belajar Al-qur’an. Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam bersabda “Sebaik-baik kamu adalah yang belajar Al-qur’an dengan mengajarkannya”.
  •   Lingkungan yang tidak cinta Al-qur’an


Lingkungan bisa menjadikan dan membentuk kebiasaan dan perilaku seseorang. Kurangnya lingkungan yang cinta Al-qur’an sehingga banyak umat islam yang tidak memiliki semangat dalam belajar Al-qur’an. Sebagian tempat tinggal umat islam terlalu memprioritaskan kegiatan yang bersifat keuntungan duniawi, jarang kita temukan lingkungan yang mengedepankan kegiatan yang bersifat ukhrowi.

Urgensi belajar membaca Al-qur’an

1.       Ganjaran yang besar
Membaca Al-qur’an memiliki fadilah atau keutamaan yang besar bagi setiap muslim yang membacanya. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
                                                                                                                                
عَنْ عَبْد اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  صلى الله عليه وسلم (( مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ))

Abdullah bin Mas’ud rd berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur`an, maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, dan satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’)
2.       Diangkat Derajat
Allah mengangkat derajat bagi orang yang membaca Al-qur’an, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
عَنْ عُمَرُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ((إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ((

Dari `Umar rd berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:“Sesungguhnya Allah mengangkat derajat suatu kaum dengan Kitab ini (Al-Qur`an) dan Allah merendahkan kaum yang lainnya (yang tidak mau membaca, mempelajari dan mengamalkan Alquran).”  (HR Muslim).

3.       Al-qur’an menjadi syafa’at
Al-qur’an juga akan menjadi syafaat di akhirat kelak. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

عَنْ أَبي أُمَامَةَ الْبَاهِلِىُّ رضى الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ « اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ((

“Abu Umamah Al Bahily berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Bacalah Al-Qur`an karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi orang yang membacanya.” (HR. Muslim).


Sebagai nasehat bagi sesama, mari kita bangkit dari tidur yang panjang, gemakan semangat Al-qur’an dengan menumbuhkan semangat belajar yang kuat serta menciptkan lingkungan yang cinta Al-qur’an, insyaallah kehidupan kita akan selalu dalam naungan Allah Subhanahuwata’alla. 

(By: Almunandar)
Share:

Rabu, 25 Mei 2016

INILAH YANG MENUNGGU KITA SETIAP HARI


Pernahkah Anda melihat kuburan? Pernahkah Anda melihat gelapnya kuburan?

Pernahkah Anda melihat sempit dan dalamnya liang lahat? Pernahkah Anda membayangkan kengerian dan kedahsyatan alam kubur? Sadarkah Anda bahwa kuburan itu dipersiapkan untuk Anda dan untuk orang-orang selain Anda? Bukankah silih berganti Anda melihat teman-teman, orang-orang tercinta dan keluarga dekat Anda diusung dari dunia fana ini ke kuburan? Dari buaian dunia yang terang benderang ke kegelapan liang lahat... Dari keceriaan bermain dengan keluarga dan anak-anak kepada kekerasan tanah dan ulat-ulat...Dari kenikmatan makanan dan minuman kepada timbunan debu dan tanah... Dari kelembutan pergaulan di tengah-tengah keluarga kepada kesendirian yang mengerikan...Dari kasur yang empuk kepada tempat pergulatan amal yang sangat menakutkan. Di dalam kubur, liang yang sangat sempit itu, tak lagi berbeda antara pelayan dan sang majikan, yang kaya dan yang miskin, semuanya sama. 

Nikmat kemewahan dan kelezatan dunia pasti berakhir dengan kematian. Dan segenap umat manusia sependapat bahwa kematian itu tidak mengenal umur tertentu, waktu tertentu atau sakit tertentu. Hal mana agar manusia selalu waspada dan terus bersiap-siap karenanya. Kengerian kubur Dari Hani' Maula Utsman, ia berkata, 'Jika Utsman radhiyallah 'anhu berdiri di samping kuburan maka beliau menangis hingga basah jenggotnya'. Maka dikatakan kepada beliau, 'Jika engkau mengingat Surga dan Neraka tidak menangis, mengapa engkau menangis karena ini? Maka beliau menjawab, 'Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam  bersabda : "Kuburan adalah awal kehidupan akhirat. Jika seseorang selamat daripadanya, maka setelahnya menjadi lebih mudah. Dan jika ia tidak selamat daripadanya, maka setelahnya lebih mengerikan." Kemudian Utsman radhiyallah 'anhu berkata, 'Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda, 'Aku tidak melihat suatu pemandangan melainkan kuburan lebih mengerikan daripadanya." (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, dihasankan oleh Al-Albani) Umar bin Abdul Aziz radhiyallah 'anhu suatu hari menasihati para sahabatnya, di antaranya beliau berkata : Jika kalian melewati kuburan, panggillah mereka jika engkau bisa memanggil.  

Lihatlah, betapa berdempetnya rumah-rumah mereka. Tanyakanlah kepada orang-orang kaya dari mereka, masih tersisakah kekayaan mereka? Tanyakan pula kepada orang-orang miskin di antara mereka, masih tersisakah kemiskinan mereka? Tanyakanlah tentang lisan-lisan yang dengannya mereka berbicara, sepasang mata yang dengannya mereka melihat indahnya pemandangan. Tanyakan pula tentang kulit-kulit lembut dan wajah-wajah yang cantik jelita, juga tubuh-tubuh yang halus mulus, apa yang diperbuat oleh ulat-ulat di balik kafan-kafan mereka? Lisan-lisan itu telah hancur, wajah-wajah yang cantik jelita itu telah dirobek-robek ulat, anggota badan mereka telah terpisah-pisah berserakan. 

Lalu di mana pelayan-pelayan mereka yang setia?  Di mana tumpukan harta dan sederetan pangkat mereka ?  Di mana rumah-rumah mewah mereka yang banyak dan menjulang tinggi? Di mana kebun-kebun mereka yang rindang dan subur? Di mana pakaian-pakaian mereka yang indah-indah dan sangat mahal? Di mana kendaraan-kendaraan mewah kesukaan mereka? Di mana kolam renang dan telaga pribadi mereka? Bukankah mereka kini berada di tempat yang sangat sunyi? Bukankah siang dan malam bagi mereka sama saja?  Bukankah mereka berada dalam kegelapan? Mereka telah terputus dengan amal mereka. Mereka telah berpisah dengan orang-orang yang mereka cintai, harta dan segenap keluarganya. Karena itu, wahai orang yang tak lama lagi akan menyusul ke kuburan! Kenapa engkau terpedaya dengan dunia? Renungkanlah tentang orang-orang yang telah pergi meninggalkan kita. Sungguh mereka amat berharap untuk bisa kembali ke dunia. Agar bisa menghimpun amal sebanyak-banyaknya. 

Tetapi, itu semua tidak mungkin terjadi karena mereka telah dikuburkan. Yazid Ar-Riqasyi rahimahullah berkata kepada dirinya sendiri, 'Celaka engkau wahai Yazid!, siapa yang akan mendirikan shalat untukmu setelah engkau mati? Siapa yang akan berpuasa untukmu setelah engkau mati? Siapa yang akan memintakan maaf untukmu setelah engkau mati?' Lalu dia berkata, 'Wahai manusia, mengapa kalian tidak mena-ngis dan meratap kepada dirimu atas sisa hidupmu. Barangsiapa yang akhirnya adalah mati, kuburan sebagai rumah tinggalnya, tanah sebagai kasurnya dan ulat-ulat yang menemaninya, serta dalam keadaan demikian ia menunggu Hari Kiamat yang sangat mengerikan. Wahai, bagaimanakah keadaan seperti ini?' Lalu beliau  menangis. 

Nasihat Tentang Kubur Abdul Haq Al-Isybily rahimahullah berkata, 'Hendaknya orang yang masuk ke kuburan menghayalkan bahwa dirinya telah mati. Telah menyusul orang-orang yang dikubur sebelumnya. Lalu hendaknya ia membayangkan tentang berubahnya warna kulit mereka, berserakannya anggota badan mereka. Lalu hendaknya ia merenungkan tentang terbelahnya bumi dan dibangkitkannya ahli kubur. Merenung-kan tentang keluarnya setiap orang dari kuburnya dalam keadaan tanpa alas kaki, telanjang dan tanpa disunat. Semua sibuk dan panik dengan urusannya sendiri. 'Wahai, mengapa aku melihatmu begitu asyik dengan kehidupan dunia. Wahai orang yang berlindung di balik tembok rumah-rumah megah. Tidak ada tempat lain selain kuburan tempat tinggalmu. Hari ini engkau bermegah-megahan dan menghias diri. Tetapi esok, engkau akan diusung ke kuburan, dibalut hanut dan kain kafan. Maka wahai engkau, bersegeralah bertaubat kepada Rabbmu. Jalan itu masih mungkin sekali bagimu.

Palingkanlah hawa nafsumu karena takut kepada Rabbmu, dalam keadaan sunyi atau ramai, selalu jagalah dirimu.' Fitnah kubur Wahai anak Adam, apa yang telah engkau persiapkan saat  malam pertamamu nanti di kuburan? Tidakkah engkau tahu, bahwa ia adalah malam yang sangat mengerikan. Malam yang karenanya para ulama dan orang-orang shalih menangis. "Suatu hari pasti aku tinggalkan tempat tidurku (dunia), dan ketenangan pun menghilang dariku. Berada di kuburan pada malam pertama, demi Allah, katakanlah kepadaku, apa yang terjadi di sana?" Karena untuk senantiasa mempersiapkan malam tersebut, diceritakan bahwa Ar-Rabi' bin Khutsaim menggali liang kubur di rumahnya. Bila ia mendapati hatinya keras, maka ia masuk ke liang kubur tersebut. Ia menganggap dirinya telah mati, lalu menyesal dan ingin kembali ke dunia, seraya membaca ayat, yang artinya : "Ya Rabbku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal shalih terhadap apa yang telah kutinggalkan (dahulu)." (Al-Mukminun: 99-100). Kemudian ia menjawab sendiri, 'Kini engkau telah dikembalikan ke dunia wahai Ar-Rabi'. Dan karenanya ia dapati pada hari-hari setelahnya senantiasa dalam keadaan ibadah dan takwa kepada Allah.

Wahai saudaraku, tidakkah engkau menangis atas kematian dan sakaratul maut yang bakal menjemputmu? Wahai saudaraku, tidakkah engkau menangis atas kuburan dan kengerian yang ada di dalamnya? Wahai saudaraku, tidakkah engkau menangis karena takut kepada api Neraka di Hari Kiamat nanti? Wahai saudaraku, tidakkah engkau menangis karena takut akan hausnya di hari penyesalan? Sebab siksa kubur Disebutkan oleh Imam Ibnu Qayyim rahimahullah bahwa siksa kubur ditimpakan karena berbagai macam dosa dan maksiat, di antaranya :
q  Adu domba dan menggunjing.
q  Tidak menjaga percikan kencing ketika buang air kecil.
q  Shalat tanpa bersuci.
q  Berdusta.
q  Melalaikan dan malas mengerjakan shalat.
q  Tidak menge-luarkan zakat.
q  Zina.
q  Mencuri.
q  Berkhianat.
q  Menfitnah sesama umat Islam.
q  Makan riba.
q  Tidak menolong orang yang dizhalimi.
q  Minum khamar.
q  Memanjangkan kain hingga di bawah mata kaki. (mungkin ada teman yg tahu arti dr kalimat ini ?)
q  Membunuh.
q  Mencaci sahabat.
q  Mati dalam keadaan membawa bid'ah.

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah selanjutnya berkata, 'Ketika keadaan manusia banyak yang melakukan dosa-dosa di atas, maka kebanyakan ahli kubur adalah dalam keadaan disiksa. Dan orang yang selamat daripadanya amatlah sedikit. Secara lahirnya, kuburan itu memang hanyalah tanah biasa, padahal di dalamnya terdapat penyesalan dan siksa. Di atasnya tampak tanah, batu-batu yang terukir dan bangunan, tetapi di dalamnya adalah bencana. Mereka mendidih dalam penyesalan sebagaimana periuk mendidih dengan apa yang ditanaknya. Sedangkan angan-angannya tak mungkin lagi terpenuhi. 'Yang menyebabkan selamat dari siksa kubur Imam Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan, sebab-sebab keselamatan siksa kubur adalah dengan menjauhi sebab-sebab terkena siksa kubur, yakni berbagai macam maksiat dan dosa. Untuk itu, beliau menganjurkan, hendaknya setiap muslim melakukan perhitungan atas dirinya setiap hari, tentang apa dosa dan kebaikan yang telah dilakukannya pada hari itu. Selanjutnya, hendaknya ia memperba-harui taubatnya kepada Allah dan tidur pada malam itu dalam keadaan taubat. Jika ia meninggal dunia pada malam itu, maka ia meninggal dalam keadaan telah bertaubat. Jika bangun dari tidurnya maka ia siap menghadapi harinya, dan bersyukur karena ajalnya masih ditangguhkan. Dengan demikian ia masih berkesempatan untuk beribadah kepada Rabbnya dan mengejar amal yang belum dilakukannya. Sebelum tidur, hendaknya pula ia dalam keadaan berwudhu, senantiasa mengingat Allah dan mengucapkan dzikir-dzikir yang disunnahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . sehingga ia tidur. Jika seseorang dikehendaki baik oleh Allah, niscaya dia akan diberi kekuatan untuk melakukannya. (Abu Okasa)


From : Buletin An-nur[SMTP:buletin@alsofwah.or.id]



Share:

Jumat, 20 Mei 2016

IKHLAS DAN BEBERAPA PERUSAKNYA



Pentingnya amalan hati

         
   Secara umum amalan hati lebih penting dan ditekankan daripada amalan lahiriyah. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan:"Bahwasanya ia meru pakan pokok keimanan dan landasan utama  agama, seperti mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala dan rasulNya, bertawakal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , ikhlas dalam menjalankan agama semata-mata karena Allah Subhannahu wa Ta'ala , bersyukur kepadaNya, bersabar atas keputusan atau hukumNya, takut dan berharap kepadaNya,.. dan ini semua menurut kesepakatan para ulama adalah perkara wajib (Al fatawa 10/5, juga 20/70)
            Imam Ibnu Qayyim juga pernah berkata: "Amalan hati merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat ibarat ruh, dan gerakan anggota badan adalah jasadnya. Jika ruh itu terlepas maka matilah jasad. Oleh karena itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan hati lebih penting daripada memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerakan anggota badan (Badai 'ul Fawaid 3/224).
            Lebih jauh lagi dalam kitab yang sama beliau menegaskan bahwa perbuatan yang dilakukan anggota badan tidak ada manfaatnya tanpa amalan hati, dan sesungguhnya amalan hati lebih fardhu (lebih wajib) bagi seorang hamba daripada amalan anggota badan.

Kedudukan Ikhlas
Ikhlas merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam .
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: " Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. 98:5)

Juga firmanNya yang lain, artinya: "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. 67:2)
Berkata Al Fudhail (Ibnu Iyadl, penj), makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan).

            Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: 'Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan , barang siapa melakukan suatu per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga sekutunya." (HR. Muslim).

            Oleh karenanya suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, bahkan pelakuknya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar. Sebagaimana dalam hadits, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur'an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori' atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka. (na'udzu billah min dzalik).

Pengertian Ikhlas
Ada beberapa pengertian ikhlas,  diantarnya:
  • Semata-mata bertujuan karena Allah ketika melakukan ketaatan.
  • Ada yang mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari perhatian manusia.
  • Sebagian lagi ada yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah orang yang tidak memperdulikan meskipun seluruh penghormatan dan peng-hargaan hilang dari dirinya dan berpindah kepada orang lain,karena ingin memperbaiki hatinya hanya untuk Allah semata dan ia tidak senang jikalau amalan yang ia lakukan diperhatikan oleh orang,walaupun perbuatan itu sepele.
            Ditanya Sahl bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: "Ikhlas, karena dengan demikian nafsu tidak memiliki tempat dan bagian lagi." Berkata Sufyan Ats-Tsauri: "Tidak ada yang paling berat untuk kuobati daripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah."

Perusak-perusak Keikhlasan
Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:
  • Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
  • Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
  • 'Ujub, masih termasuk kategori riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: "Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah denga makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri-sendiri. (Al fatawaa, 10/277)
Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau di sebut dengan riya' khafiy' yaitu:
  1. Seseorang sudah secara diam-diam melakukan ketaatan yang ia tidak ingin menampakkannya dan tidak suka jika diketahui oleh banyak orang, akan tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain mendahului salam terhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat, memujinya, segera memenuhi keinginannya, diperlakukan lain dalam jual beli (diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu semua tidak ia dapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam hatinya, seolah-olah dengan ketaatan yang ia sembunyikan itu ia mengharapkan agar orang selalu menghormatinya.
     
  2. Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud dan tujuan.
    Syaikhul Islam telah memperingatkan dari hal yang tersembunyi ini, beliau berkata: "Dikisahkan bahwa Abu Hamid Al Ghazali ketika sampai kepadanya, bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena Allah selama empatpuluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut melalui lisanya (ucapan), berkata Abu Hamid: "Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku, lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, maka ia berkata:  "Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah semata.
    Kemudian Ibnu Taymiyah berkata: "Hal ini dikarenakan manusai terkadang ingin disebut ahli ilmu dan hikmah, dihormati dan dipuji manusia, dan lain-lain, sementara ia tahu bahwa untuk medapatkan semua itu harus dengan cara ikhlas karena Allah.Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat ikhlas karena Allah,maka terjadilah dua hal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana saja, sedang tujuannya adalah selain Allah. 
  3. Yaitu apa yang diisyaratkan Ibnu Rajab beliau berkata: "Ada satu hal yang sangat tersembunyi, yaitu terkadang seseorang mencela dan menjelek-jelekan dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang tersebut menganggapnya sebagai orang yang tawadhu' dan merendah, sehingga dengan itu orang justru mengangkat dan memujinya. Ini merupakan pintu riya' yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para salafus shaleh.
Cara-cara mengobati riya'
  1. Harus menyadari sepenuhnya , bahwa kita manusia ini semata-mata adalah hamba. Dan tugas seorang hamba adalah mengabdi dengan sepenuh hati, dengan mengharap kucuran belas kasih dan keridhaanNya semata.  
  2. Menyaksikan pemberian Allah, keutamaan dan taufikNya, sehingga segala sesuatunya diukur dengan kehendak Allah bukan kemauan diri sendiri. 
  3. Selalu melihat aib dan kekurangan diri kita, merenungi seberapa banyak bagian dari amal yang telah kita berikan untuk hawa nafsu dan syetan. Karena ketika orang tidak mau melakukan suatu amal, atau melakukannya namun sangat minim maka berarti telah memberikan bagian (yang sebenarnya untuk Allah), kepada hawa nafsu atau syetan.
  4. Memperingatkan diri dengan perintah-perintah Allah yang bisa memperbaiki hati.
  5. Takut akan murka Allah, ketika Dia melihat hati kita selalu dalam keadaan berbuat riya'.
  6. Memperbanyak ibadah-ibadah yang tersembunyi seperti qiyamul lail, shadaqah sirri, menagis karena Allah dikala menyandiri dan sebagainya. 
  7. Membuktikan pengagungan kita kepada Allah, dengan merealisasikan tauhid  dan mengamalkannya.
  8. Mengingat kematian dan sakaratul maut, kubur dan kedah syatannya, hari akhir dan huru-haranya.
  9. Mengenal riya', pintu-pintu masuk dan kesamarannya, sehingga bisa terbebas darinya.
  10. Melihat akibat para pelaku riya' baik di dunia maupun di akhirat.
  11. Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah dari perbuatan riya'dengan membaca doa:"Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat syirik padahal aku mengetahui,dan aku mohon ampun atas apa-apa yang tidak ku ketahui."
Wallahu a'lam bis shawab.
Disarikan dari buku al ikhlash wa asy syirkul asghar,Dr Abdul Aziz bin Muhammad Al Abdul Lathif, Darul Wathan Riyadh (Ibnu Djawari)

Share:

SIRAH NABAWIYAH 3

Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum


AGAMA BANGSA ARAB 


Mayoritas Bangsa Arab masih mengikuti dakwah Nabi Ismail 'alaihissalam dan menganut agama yang dibawanya. Beliau meneruskan dakwah ayahnya, Ibrahim 'alaihissalam, yaitu menyembah Allah dan mentauhidkanNya. Untuk beberapa lama mereka akhirnya mulai lupa banyak hal tentang apa yang pernah diajarkan kepada mereka. Sekalipun begitu, tauhid dan beberapa syiar agama Ibrahim masih tersisa pada mereka, hingga munculnya Amru bin Luhai, pemimpin Bani Khuza'ah. Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal suka berbuat kebajikan, bershadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai salah seorang ulama besar dan wali yang disegani. Kemudian dia mengadakan perjalanan ke Syam. Disana dia melihat penduduk Syam yang menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik serta benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa Hubal dan meletakkannya di dalam ka'bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk menjadikan sekutu bagi Allah. Orang-orang Hijaz pun banyak yang mengiktui penduduk Mekkah karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka'bah dan penduduk tanah suci. 


Berhala yang paling dahulu mereka sembah adalah Manat, yang ditempatkan di Musyallal di tepi laut Merah dekat Qudaid. Kemudian mereka membuat Lata di Thaif dan Uzza di lembah kurma (wadi nakhlah). Ketiga berhala tersebut merupakan yang paling besarnya. Setelah itu kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran di setiap tempat di Hijaz. Dikisahkan bahwa Amru bin Luhai mempunyai pembantu dari jenis jin. Jin ini memberitahukan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Nuh (Wud, Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr) terpendam di Jeddah. Maka dia datang ke sana untuk mencari keberadaannya, lalu membawanya ke Tihamah. Setelah tiba musim haji, dia menyerahkan berhala-berhala itu kepada berbagai kabilah. Mereka membawa pulang berhala-berhala itu ke tempat mereka masing-masing. Sehingga di setiap kabilah dan di setiap rumah hampir pasti ada berhalanya. Mereka juga memajang berbagai macam berhala dan patung di al-Masjidil Haram . Tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menaklukkan Mekkah, di sekitar Ka'bah terdapat tiga ratus enam puluh berhala. Beliau menghancurkan berhala-berhala itu hingga runtuh semua, lalu memerintahkan agar berhala-berhala tersebut dikeluarkan dari masjid dan dibakar. 

Begitulah kisah kemusyrikan dan penyembahan terhadap berhala, yang menjadi fenomena terbesar dari agama orang-orang Jahiliyyah, yang menganggap dirinya masih menganut agama Ibrahim. 

Mereka juga mempunyai beberapa tradisi dan upacara penyembahan berhala, yang hampir semuanya dibuat oleh Amru bin Luhai. Sementara orang-orang mengira apa yang dibuat Amru tersebut adalah sesuatu yang baru dan baik serta tidak merubah agama Ibrahim. Diantara upacara penyembahan berhala yang mereka lakukan adalah : 

Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, berkomat-kamit di hadapannya, meminta pertolongan tatkala menghadapi kesulitan, berdoa untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafa'at di sisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.

Mereka menunaikan haji dan thawaf di sekeliling berhala, merunduk dan sujud di hadapannya.

Mereka bertaqarrub kepada berhala mereka dengan berbagai bentuk taqarrub/ibadah; mereka menyembelih dan berkorban untuknya dan dengan namanya.
Dua jenis penyembelihan ini telah disebutkan Allah di dalam firmanNya : 
"…Dan apa yang disembelih untuk berhala…." (al-Maidah: 3)
"Dan jagnanlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya". (Al-An'am: 121). 

Jenis taqarrub yang lain, mereka mengkhususkan sebagian dari makanan dan minuman yang mereka pilih untuk disajikan kepada berhala, dan juga mengkhususkan bagian tertentu dari hasil panen dan binatang ternak mereka. Diantara hal yang amat aneh adalah perbuatan mereka mengkhususkan bagian yang lain untuk Allah. Banyak sebab-sebab yang mereka jadikan alasan kenapa mereka memindahkan sesembahan yang sebenarnya mereka peruntukkan untuk Allah kepada berhala-berhala mereka, akan tetapi mereka tidak memindahkan sama sekali sesembahan yang sudah diperuntukkan untuk berhala mereka. Allah berfirman :
"Dan, mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman yang diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka, ' Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami'. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu". (Al-An'am: 136).

Diantara jenis taqarrub yang mereka lakukan ialah dengan bernazar menyajikan sebagian hasil tanaman dan ternak untuk berhala-berhala. Allah berfirman : 
" Dan, mereka mengatakan,'inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang; tidak boleh memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki', menurut anggapan mereka, dan binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah". (Al-An'am: 138).

Diantaranya lagi adalah ritual al-bahirah, as-sa'ibah, al-washilah, al-hami . Ibnu Ishaq berkata: "al-bahirah ialah anak as-sa'ibah yaitu onta betina yang telah beranak sepuluh betina secara berturut-turut dan tidak diselingi sama sekali oleh yang jantan. Onta semacam inilah yang dilakukan terhadapnya ritual sa'ibah; ia tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, susunya tidak boleh diminum kecuali oleh tamu. Jika kemudian melahirkan lagi anak betina, maka telinganya harus dibelah. Setelah itu ia harus dilepaskan secara bebas bersama induknya, dan juga harus mendapat perlakuan yang sama seperti induknya. Al-Washilah adalah domba betina yang lahir dari lima perut; jika kemudian lahir sepuluh betina secara berturut-turut dan tidak diantarai lahirnya yang jantan, mereka mengadakan ritual washilah. Mereka berkata: "aku telah melakukan washilah". Kemudian bila domba tersebut beranak lagi, maka mereka persembahkan kepada kaum laki-laki saja kecuali ada yang mati maka dalam hal ini kaum laki-laki dan wanita bersama-sama melahapnya. Sedangkan Al-hami adalah onta jantan yang sudah membuahkan sepuluh anak betina secara berturut-turut tanpa ada jantannya. Punggung onta seperti ini dijaga, tidak boleh ditunggangi, tidak boleh diambil bulunya, harus dibiarkan lepas dan tidak digunakan kecuali untuk kepentingan ritual tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah menurunkan ayat :
"Allah sekali-kali tidak pernah mensyari'atkan adanya bahirah, sa'ibah, washilah dan hami. Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti". (al-Maidah: 103).

Allah juga menurunkan ayat :
" Dan, mereka mengatakan :'apa yang di dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami', dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wantia sama-sama boleh memakannya". (Al-An'am: 139). 

Sa'id bin al-Musayyab telah menegaskan bahwa binatang-binatang ternak diperuntukkan bagi taghut-taghut mereka. Di dalam hadits yang shahih dan marfu', bahwa Amru bin Luhai adalah orang pertama yang melakukan ritual saibah (mempersembahkan onta untuk berhala).

Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah, menghubungkan mereka kepadaNya serta meminta syafa'at kepadaNya, sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur'an : 

"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (Az-Zumar:3). 

"Dan, mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat, dan mereka berkata: 'mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami disisi Allah". (Yunus: 18).

Orang-orang Arab juga mengundi nasib dengan sesuatu yang disebut al-azlam atau anak panah yang tidak ada bulunya. Anak panah itu ada tiga jenis: satu jenis ditulis dengan kata "ya", satu lagi ditulis dengan kata "tidak" dan jenis ketiga dengan kata "dibiarkan". Mereka mengundi nasib untuk menentukan apa yang akan dilakukan, seperti bepergian, menikah atau lain-lainnya, dengan menggunakan anak panah itu. Jika yang keluar tulisan "ya", mereka melaksanakannya, dan jika yang keluar adalah tulisan "tidak" , mereka menangguhkannya pada tahun itu hingga mereka melakukannya lagi. Dan jika yang mncul adalah tulisan "dibiarkan" mereka mengulangi undiannya. Ada lagi jenis lain, yaitu tulisan "air" dan "tebusan", begitu juga tulisan "dari kalian", "bukan dari kalian" atau "disusul". Bila mereka ragu terhadap nasab seseorang mereka membawanya ke hubal dan membawa serta juga seratus hewan kurban lalu diserahkan kepada pengundi. Dalam hal ini, jika yang keluar adalah tulisan "dari kalian", maka dia diangkat sebagai penengah/pemutus perkara diantara mereka. Jika yang keluar tulisan "bukan dari kalian" maka dia diangkat sebagai sekutu. Sedangkan jika yang keluar adalah tulisan "disusul" maka kedudukannya di tengah mereka adalah sebagai orang yang tidak bernasab dan tidak diangkat sebagai sekutu. 

Tak beda jauh dengan hal ini adalah perjudian dan undian. Mereka membagi-bagikan daging unta yang mereka sembelih berdasarkan undian tersebut.

Mereka juga percaya kepada perkataan peramal, dukun (para normal) dan ahli nujum (astrolog). Peramal adalah orang yang suka memberikan informasi tentang hal-hal yang akan terjadi di masa depan, mengaku-aku dirinya mengetahui rahasia-rahasia. Diantara para peramal ini, ada yang mendakwa dirinya memiliki pengikut dari bangsa jin yang memberikan informasi kepadanya. Diantara mereka juga ada yang mendakwa mengetahui hal-hal yang ghaib berdasarkan pemahaman yang diberikan kepadanya. Ada lagi dari mereka yang mendakwa dirinya mengetahui banyak hal dengan mengemukan premis-premis dan sebab-sebab yang dapat dijadikan bahan untuk mengetahui posisinya berdasarkan kepada ucapan si penanya, perbuatannya atau kondisinya; inilah yang disebut dengan 'arraf (dukun/para normal) seperti orang yang mendakwa dirinya mengetahui barang yang dicuri, letak terjadinya pencurian, juga orang yang tersesat, dan lain-lain. Sedangkan ahli nujum (astrolog) adalah orang yang mengamati keadaan bintang dan planet, lalu dia menghitung perjalanan dan waktu peredarannya, agar dengan begitu dia bisa mengetahui berbagai keadaan di dunia dan peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi di kemudian hari. Membenarkan ramalan ahli nujum/astrolog ini pada hakikatnya merupakan bentuk kepercayaan terhadap bintang-bintang. Diantara keyakinan mereka terhadap bintang-bintang adalah keyakinan terhadap anwa' (simbol tertentu yang dibaca sesuai dengan posisi bintang) ; oleh karenanya mereka selalu mengatakan ; 'hujan yang turun ke atas kami ini lantaran posisi bintang begini dan begitu'. 

Di kalangan mereka juga beredar kepercayaan ath-Thiyarah yaitu merasa nasib sial atau meramal nasib buruk (karena melihat burung, binatang lainnya atau apa saja) . Pada mulanya mereka mendatangi seekor burung atau kijang, lalu mengusirnya. Jika burung atau kijang itu mengambil arah kanan, maka mereka jadi bepergian ke tempat yang hendak dituju dan hal itu dianggap sebagai pertanda baik. Jika burung atau kijang itu mengambil arah kisri, maka mereka tidak berani bepergian dan mereka meramal hal itu sebagai tanda kesialan. Mereka juga meramal sial jika di tengah jalan bertemu burung atau hewan tertentu.

Tak bebeda jauh dengan hal ini adalah kebiasaan mereka yang menggantungkan ruas tulang kelinci (dengan kepercayaan bahwa hal itu dapat menolak bala'-penj). Mereka juga menyandarkan kesialan kepada hari-hari, bulan-bulan, hewan-hewan, rumah-rumah atau wanita-wanita. Begitu juga keyakinan terhadap penularan penyakit dan binatang berbisa. Mereka percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tenteram jika dendamnya tidak dilampiaskan. Ruhnya bisa menjadi binatang berbisa dan burung hantu yang beterbangan di padang sahara/tanah lapang seraya berteriak: 'Haus! haus! beri aku minum! beri aku minum!', dan bila telah dilampiaskan dendamnya maka ruhnya merasa tenang dan tentram kembali.

Orang-orang Jahiliyah masih dalam kondisi kehidupan demikian, tetapi ajaran Ibrahim masih tersisa pada mereka dan belum ditinggalkan sama sekali, seperti pengagungan terhadap baitullah (ka'bah), thawaf, haji, umrah, wukuf di 'Arafah dan Muzdalifah, serta ritual mempersembahkan onta sembelihan untuk ka'bah. Memang, dalam hal ini terjadi hal-hal yang mereka ada-adakan. Diantaranya; orang-orang Quraisy berkata, 'kami anak keturunan Ibrahim dan penduduk tanah haram, penguasa ka'bah dan penghuni Mekkah. Tak seorangpun dari Bangsa Arab yang mempunyai hak dan kedudukan seperti kami- dalam hal ini, mereka menjuluki diri mereka dengan alhums (kaum pemberani)- ; oleh karena itu tidak selayaknya kami keluar dari tanah haram menuju tanah halal (di luar tanah haram). Mereka tidak melaksanakan wuquf di Arafah, juga tidak ifadhah dari sana, tapi melaukan ifadhah dari Muzdalifah. Mengenai hal ini,turun firman Allah:
"Kemudian bertolaklah kalian dari tempat bertolaknya orang-orang banyak" . (al-Baqarah: 199).

Diantara hal-hal lain yang mereka katakana adalah : "tidak selayaknya alhums mengkonsumsi keju, memasak dan menyaring samin/mentega saat mereka sedang berihram, serta memasuki rumah-rumah dengan pakaian dari bulu/wol. Juga tidak selayaknya berteduh ketika lagi berteduh kecuali di rumah-rumah yang terbuat dari kulit selama mereka dalam keadaan berihram".

Mereka juga berkata: "Penduduk di luar tanah haram tidak boleh memakan makanan yang mereka bawa dari luar tanah haram ke tanah haram, jika kedatangan mereka itu dimaksudkan untuk melakukan haji atau umrah".

Hal-Hal lainya yang mereka buat-buat adalah mereka melarang orang yang datang dari luar tanah haram bila mereka datang dan berthawaf untuk pertama kalinya kecuali dengan mengenakan pakaian kebesaran alhums dan jika mereka tidak mendapatkannya maka kaum laki-laki harus thawaf dalam keadaan telanjang. Sementara wanita juga harus menanggalkan seluruh pakaiannya kecuali pakaian rumah yang longgar,kemudian baru berthawaf dan melantunkan : 

"Hari ini tampak sebagian atau seluruhnya apa yang nampak itu tiadalah ia perkenankan"
Dan berkaitan dengan itu, turun firman Allah :
"Hai anak Adam! Pakailah pakaian yang indah di setiap (memasuki) masjid". (al-A'raf: 31).

Jika salah seorang dari laki-laki dan wanita merasa lebih hormat untuk thawaf dengan pakaian yang dikenakannya dari luar tanah haram maka sehabis thawaf dia harus membuangnya dan ketika itu tak seorangpun yang boleh menggunakannya lagi; baik dari mereka maupun selain mereka. 
Hal lainya lagi adalah perlakuan mereka yang tidak mau masuk rumah dari pintu depan bila sedang berihram, tetapi mereka melubangi bagian tengah rumah untuk tempat masuk dan keluar, dan mereka manganggap pikiran sempit semacam ini sebagai kebaktian (birr); maka hal semacam ini kemudian dilarang oleh Al-Qur'an dalam firmanNya : 

"Dan bukanlah kebaktian itu memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaktian itu ialah kebaktian orang yang bertakwa". (al-Baqarah: 189).

Kepercayaan semacam ini ; kepercayaan bernuansa syirik, penyembahan terhadap berhala, keyakinan terhadap hipotesis-hipotesis lemah dan khurafat-khurafat adalah merupakan kepercayaan/agama mayoritas Bangsa Arab. Disamping itu juga, ada agama lain seperti; Yahudi, Nashrani, Majusi dan Shabi'ah. Agama-agama ini juga mendapatkan jalan untuk memasuki pemukiman Bangsa Arab.
Ada dua periode yang sempat mewakili keberadaan orang-orang Yahudi di jazirah Arab: 

Proses hijrah yang mereka lakukan pada periode penaklukan Bangsa Babilonia dan Assyiria di Palestina; tekanan yang dialami oleh orang-orang Yahudi, luluh lantaknya negeri dan hancurnya rumah ibadah mereka oleh Bukhtanashshar pada tahun 587 SM serta ditawan dan dibawanya sebagian besar mereka ke Babilonia menyebabkan sebagian mereka yang lain meninggalkan negeri Palestina menuju Hijaz dan bermukim di sekitar belahan utaranya.

Diawali dari sejak pendudukan yang dilakukan oleh Bangsa Romawi terhadap Palestina dibawah komando Pettis pada tahun 70 M; adanya tekanan dari orang-orang Romawi terhadap bangsa Palestina, hancur dan luluh lantaknya rumah ibadah mereka membuahkan berimigrasinya banyak suku dari bangsa Yahudi ke Hijaz dan menetap di Yatsrib (Madinah sekarang-penj), Khaibar dan Taima'. Disana mereka mendirikan perkampungan, istana-istana dan benteng-benteng. Agama Yahudi tersebar di kalangan sebagian bangsa Arab melalui kaum imigran Yahudi tersebut. Di kemudian harinya mereka memiliki peran yang sangat signifikan dalam percaturan politik pada periode tersebut sebelum munculnya Islam. Ketika Islam muncul, suku-suku Yahudi yang sudah ada dan masyhur adalah Khaibar, an-Nadhir, al-Mushthaliq, Quraizhah dan Qainuqa'. Sejarawan, as-Samhudi menyebutkan dalam bukunya "wafâul wafa' " halaman 116 bahwa suku-suku Yahudi yang mampir di Yatsrib dan datang ke sana dari waktu ke waktu berjumlah lebih dari dua puluh suku. 

Sementara itu, masuknya agama Yahudi di Yaman adalah melalui penjual jerami, As'ad bin Abi Karb. Ketika itu, dia pergi berperang ke Yatsrib dan disanalah dia memeluk agama Yahudi. Dia membawa serta dua orang ulama Yahudi dari suku Bani Quraizhah ke Yaman. Agama Yahudi tumbuh dan berkembang dengan pesat di sana, terlebih lagi ketika anaknya, Yusuf yang bergelar Dzu Nuwas menjadi penguasa di Yaman; dia menyerang penganut agama Nashrani dari Najran dan mengajak mereka untuk menganut agama Yahudi, namun mereka menolak. Karena penolakan ini, dia kemudian menggali parit dan mencampakkan mereka ke dalamnya lalu mereka dibakar hidup-hidup. Dalam tindakannya ini, dia tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, anak-anak kecil dan orang-orang berusia lanjut. Sejarah mencatat, bahwa jumlah korban pembunuhan massal ini berkisar antara 20.000 hingga 40.000 jiwa. Peristiwa itu terjadi pada bulan Oktober tahun 523 M. Al-Qur'an menceritakan sebagian dari drama tragis tersebut dalam surat al-Buruj (tentang Ashhabul Ukhdud). 

Sedangkan agama Nasrani masuk ke jazirah Arab melalui pendudukan orang-orang Habasyah dan Romawi. Pendudukan orang-orang Habasyah yang pertama kali di Yaman terjadi pada tanun 340 M dan berlangsung hingga tahun 378 M. Pada masa itu, gerakan kristenisasi mulai merambah pemukiman di Yaman. Tak berapa jauh dari masa ini, seorang yang yang dikenal sebagai orang yang zuhud, doanya mustajab dan juga dianggap mempunyai kekeramatan. Orang ini dikenal dengan sebutan Fimiyun; dialah yang datang ke Najran. Dia mengajak penduduk Najran untuk memeluk agama Masehi. Mereka melihat tanda-tanda kejujuran pada dirinya dan kebenaran agamanya. Oleh karena itu mereka menerima dakwahnya dan bersedia memeluk agama Nasrani. 

Tatkala orang-orang Habasyah menduduki Yaman untuk kedua kalinya pada tahun 525 M; sebagai balasan atas perlakuan Dzu Nuwas yang dulu pernah dilakukannya, dan tampuk pimpinan dipegang oleh Abrahah, maka dia menyebarkan agama Nasrani dengan gencar dan target sasaran yang luas hingga mencapai puncaknya yaitu tatkala dia membangun sebuah gereja di Yaman, yang diberi nama "Ka'bah Yaman". Dia menginginkan agar haji yang dilakukan oleh Bangsa Arab dialihkan ke gereja ini. Disamping itu,dia juga berniat menghancurkan Baitullah di Mekkah, namun Allah membinasakannya dan akan mengazabnya di dunia dan akhirat. 

Agama Nashrani dianut oleh kaum Arab Ghassan, suku-suku Taghlib dan Thayyi' dan selain kedua suku terakhir ini. Hal itu disebabkan mereka bertetangga dengan orang-orang Romawi. Bukan itu saja, bahkan sebagian raja-raja Hirah juga telah memeluknya. 

Sedangkan agama Majusi lebih banyak berkembang di kalangan orang-orang Arab yang bertetangga dengan orang-orang Persia yaitu orang-orang Arab di Iraq, Bahrain (tepatnya di Ahsa'), Hajar dan kawasan tepi pantai teluk Arab yang bertetangga dengannya. Elite-Elite politik Yaman juga ada yang memeluk agama Majusi pada masa pendudukan Bangsa Persia terhadap Yaman. 

Adapun agama Shabi'ah; menurut penemuan yang dilakukan melalui penggalian dan penelusuran peninggalan-peninggalan mereka di negeri Iraq dan lain-lainnya menunjukkan bahwa agama tersebut dianut oleh kaum Ibrahim Chaldeans. Begitu juga, agama tersebut dianut oleh mayoritas penduduk Syam dan Yaman pada zaman purbakala. Setelah beruntunnya kedatangan beberapa agama baru seperti agama Yahudi dan Nasrani, agama ini mulai kehilangan identitasnya dan aktivutasnya mulai redup. Tetapi masih ada sisa-sisa para pemeluknya yang membaur dengan para pemeluk Majusi atau hidup berdampingan dengan mereka, yaitu di masyarakat Arab di Iraq dan di kawasan tepi pantai teluk Arab. 

Kondisi Kehidupan Agama 

Agama-agama tersebut merupakan agama yang sempat eksis sebelum kedatangan Islam. Namun dalam agama-agama tersebut, sudah terjadi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang Musyrik yang mendakwa diri mereka adalah penganut agama Ibrahim, justeru keadaannya teramat jauh dari perintah dan larangan syariat Ibrahim. Ajaran-ajaran tentang akhlaq mulia mereka sudah abaikan sehingga maksiat tersebar dimana-mana. Seiring dengan peralihan zaman secara bertahap terjadi perkembang yang sama seperti ajpa yang dilakukan oleh para penyembah berhala (paganis). Adat istiadat dan tradisi-tradisi yang berlaku telah berubah menjadi khurafat-khurafat dalam agama dan ini memiliki dampak negatif yang amat parah terhadap kehidupan sosio politik dan religi masyarakat. 

Lain lagi perubahan yang terjadi terhadap orang-orang Yahudi; mereka telah menjadi manusia yang dijangkiti penyakit riya' dan menghakimi sendiri. Para pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah; menghakimi masyarakat seenaknya dan bahkan menvonis mereka seakan mereka mengetahui apa yang terbetik dihati dan dibibir mereka. Ambisi utama mereka hanyalah bagaimana mendapatkan kekayaan dan kedudukan, sekalipun berakibat lenyapnya agama dan menyebarnya kekufuran serta pengabaian terhadap ajaran-ajaran yang telah diperintahkan oleh Allah dan yang harus dijunjung tinggi oleh setiap orang. 

Berbeda dengan agama Nashrani, ia berubah menjadi agama berhala (paganisme) yang sulit dipahami dan mengalami pencampuradukan yang amat janggal antara pemahaman terhadap Allah dan manusia. Agama semacam ini tidak berpengaruh banyak dan secara signifikan terhadap bangsa Arab karena ajaran-ajarannya jauh dari gaya hidup yang mereka kenal dan lakoni. Karenanya, tidak mungkin pula mereka jauh dari gaya hidup tersebut. 

Sementara kondisi semua agama bangsa Arab, tak ubahnya seperti kondisi orang-orang Musyrik; perasaan hati yang sama, kepercayaan yang beragam, tradisi dan kebiasaan yang saling sinkron.


   
Share:

Rabu, 18 Mei 2016

SIRAH NABAWIYAH 2


 Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

KEKUASAAN DAN IMARAH DI KALANGAN BANGSA ARAB 

Selagi kita hendak membicarakan masalah kekuasaan di kalangan Bangsa Arab sebelum Islam, berarti kita harus membuat miniatur sejarah pemerintahan, imarah (keemiratan), agama dan kepercayaan di kalangan Bangsa Arab, agar lebih mudah bagi kita untuk memahami kondisi yang tengah bergejolak saat kemunculan Islam.

Para penguasa jazirah tatkala terbitnya matahari Islam, bisa dibagi menjadi dua kelompok:

Raja-raja yang mempunyai mahkota, tetapi pada hakikatnya mereka tidak memiliki independensi dan berdiri sendiri

Para pemimpin dan pemuka kabilah atau suku, yang memiliki kekuasaan dan hak-hak istimewa seperti kekuasaan para raja. Mayoritas di antara mereka memiliki independensi. Bahkan boleh jadi sebagian diantara mereka mempunyai subordinasi layaknya seorang raja yang mengenakan mahkota.

Raja-raja yang memiliki mahkota adalah raja-raja Yaman, raja-raja kawasan Syam, Ghassan dan Hirah. Sedangkan penguasa-penguasa lainnya di jazirah Arab tidak memiliki mahkota.

Raja-raja di Yaman 

Suku bangsa tertua yang dikenal di Yaman adalah kaum Saba'. Mereka bisa diketahui lewat penemuan fosil Aur, yang hidup dua puluh abad Sebelum Masehi (SM). Puncak peradaban dan pengaruh kekuasaan mereka dimulai pada tahun sebelas SM.

Klasifikasi periodisasi kekuasaan mereka dapat diperkirakan sebagai berikut : 
Antara tahun 1300 SM hingga 620 SM ; pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Mu'iniah, sedangkan raja-raja mereka dijuluki sebagai "Mukrib Saba'", dengan ibukotanya Sharwah. Puing-puing peninggalan mereka dapat ditemui sekitar jarak 50 km ke arah barat laut dari negeri Ma'rib, dan dari jarak 142 km arah timur kota Shan'a' yang dikenal dengan sebutan Kharibah.
Pada periode merekalah dimulainya pembangunan bendungan, yang dikenal dengan nama bendungan Ma'rib, yang memiliki peran tersendiri dalam sejarah Yaman. Ada yang mengatakan, wilayah kekuasaan kaum Saba' ini meliputi daerah-daerah jajahan didalam dan luar negeri Arab.

Antara tahun 620 SM hingga 115 SM ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti Saba', dan mereka menanggalkan julukan "Mukrib" alias hanya dikenal dengan raja-raja Saba' dengan menjadikan Ma'rib sebagai ibukota, sebagai ganti dari Sharwah. Puing-puing kota ini dapat ditemui sejauh 192 km dari arah timur Shan'a'.

Sejak tahun 115 SM hingga tahun 300 M ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah I, sebab kabilah Himyar telah memisahkan diri dari kerajaan Saba', dan menjadikan kota Raidan sebagai ibukotanya, menggantikan Ma'rib. Kota Raidan dikenal kemudian dengan nama Zhaffar. Puing-puing peninggalannya dapat ditemukan di sebuah bukit yang memutar dekat Yarim.
Pada periode ini mereka mulai melemah dan jatuh, serta mengalami kerugian besar dalam perdagangan yang mereka lakukan. Diantara penyebabnya adalah beberapa factor ; pertama, dikuasainya kawasan utara Hijaz. Kedua, berhasilnya Bangsa Romawi menguasai jalur perdagangan laut setelah sebelumnya mereka menancapkan kekuasaan mereka di Mesir, Syria dan bagian utara kawasan Hijaz. Ketiga, adanya persaingan antar masing-masing kabilah . Faktor-faktor inilah yang menyebabkan berpencarnya keluarga besar suku Qahthan dan hijrahnya mereka ke negeri-negei yang jauh.

Sejak tahun 300 M hingga masuknya Islam ke Yaman ; Pada periode ini dinasti mereka dikenal dengan dinasti al-Himyariyyah II dan kondisi yang mereka alami penuh dengan kerusuhan-kerusuhan dan kekacauan, beruntunnya peristiwa kudeta, serta timbulnya perang keluarga yang mengakibatkan mereka menjadi santapan kekuatan asing yang selalu mengintai hingga hal itu kemudian mengakhiri kemerdekaan yang mereka pernah renggut. Begitu juga, pada periode ini Bangsa Romawi berhasil memasuki kota 'Adn serta atas bantuan mereka, untuk pertama kalinya orang-orang Habasyah berhasil menduduki negeri Yaman, yaitu tahun 340 M. Hal itu dapat mereka lakukan berkat persaingan yang terjadi antara dua kabilah; Hamadan dan Himyar. Pendudukan mereka berlangsung hingga tahun 378 M. Kemudian negeri Yaman memperoleh kemerdekaannya akan tetapi kemudian bendungan Ma'rib jebol hingga mengakibatkan banjir besar seperti yang disebutkan oleh Al-Qur'an dengan istilah Sailul 'Arim pada tahun 450 atau 451 M. Itulah peristiwa besar yang berkesudahan dengan lenyapnya peradaban dan bercerai berainya suku bangsa mereka.

Pada tahun 523 M, Dzu Nawwas, seorang Yahudi memimpin pasukannya menyerang orang-orang Nasrani dari penduduk Najran, dan berusaha memaksa mereka meninggalkan agama nasrani. Karena mereka menolak, maka dia membuat parit-parit besar yang di dalamnya api yang menyala, lalu mereka dilemparkan ke dalam api tersebut hidup-hidup, sebagaimana yang diisyaratkan oleh AlQur'an dalam surat al-Buruj. Kejadian ini membakar dendam di hati orang-orang Nasrani dan mendorong mereka untuk memperluas daerah kekuasaan dan penaklukan terhadap negeri Arab dibawah kemando imperium Romawi. Mereka bekerja sama dengan orang-orang Habasyah yang sebelumnya telah mereka provokasi dan menyiapkan armada laut buat mereka sehingga bergabunglah sebanyak 70.000 personil tentara dari mereka. Mereka untuk kedua kalinya berhasil menduduki negeri Yaman dibawah komando Aryath pada tahun 525 M. Dia menjadi penguasa di sana atas penunjukan dari raja Habasyah hingga kemudian dia dibunuh oleh Abrahah bin ash-Shabbah al-Asyram, anak buahnya sendiri pada tahun 549 M, dan selanjutnya dia berhasil menggantikan Aryath setelah meminta restu raja Habasyah. Abrahah inilah yang mengerahkan pasukannya untuk menghancurkan Ka'bah. Dalam sejarah dia dan pasukannya dikenal dengan pasukan penunggang gajah (ashhabul fil). Sepulangnya dari sana menuju Shan'a', dia mati dan digantikan oleh kedua anaknya yang kedua-duanya ketika menjadi penguasa lebih otoriter dan sadis dari orangtuanya.

Setelah peristiwa "gajah" tersebut, penduduk Yaman meminta bantuan kepada orang-orang Persi untuk menghadang serangan pasukan Habasyah dan kerjasama ini berhasil sehingga mereka akhirnya dapat mengusir orang-orang Habasyah dari negeri Yaman. Mereka memperoleh kemerdekaan pada tahun 575 M, berkat jasa seorang panglima yang bernama Ma'di Yakrib bin Saif Dzi Yazin al-Himyari yang kemudian mereka angkat menjadi raja mereka. Meskipun begitu, Ma'di Yakrib masih mempertahankan sejumlah orang-orang Habasyah sebagai pengawal yang selalu menyertainya dalam perjalanannya. Hal itu justru menjadi bumerang baginya, maka pada suatu hari mereka berhasil membunuhnya. Dengan kematiannya berakhirlah dinasti raja dari keluarga besar Dzi Yazin. Setelah itu Kisra mengangkat penguasa dari Bangsa Persia sendiri di Shan'a', dan menjadikan Yaman sebagai salah satu wilayah konfederasi kekisraan Persia. Kemudian hal itu terus berlanjut hingga era kekisraan terakhir yang dipimpin oleh Badzan, yang memeluk Islam pada tahun 638 M. Dengan keislamannya ini berakhirlah kekuasaan kekisraan Persia atas negeri Yaman *.

* Lihat rinciannya pada buku "al-Yaman 'abrat Tarikh" , hal. 77, 83, 124, 130, 157, 161, dst ; "Tarikh ardhil Quran", Juz I, dari hal. 133 hingga akhir buku ini; "Tarikhul 'Arab Qablal Islam", hal. 101-151 ; dalam menentukan tahun-tahun peristiwa tersebut terjadi perbedaaan yang amat signifikan antara referensi-referensi sejarah. Bahkan sebagian penulis mengomentari tentang rincian tersebut, dengan mengutip firman Allah : "AlQuran ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu".

Raja-raja di Hirah 
Untuk beberapa periode, negeri Iraq masih menjadi konfederasi kekisraan Persia hingga munculnya Cyrus Yang Agung (557-529 SM.) yang dapat mempersatukan kembali Bangsa Persia. Maka selama kekuasaannya, tak seorangpun yang dapat menandingi dan mengalahkannya, hingga muncul Alexander dari Macedonia pada tahun 326 SM, yang mampu mengalahkan "Dara I", raja mereka dan menceraiberaikan persatuan mereka. Akibatnya negeri mereka terkotak-kotak dan muncullah di masing-masing wilayah raja-raja baru, yang dikenal dengan raja-raja ath-Thawa'if . Mereka berkuasa atas wilayah-wilayah masing-masing hingga tahun 230 M. Pada era kekuasaan raja-raja ath-Thawa'if inilah orang-orang Qahthan berpindah dan kemudian menempati daerah pedalaman Iraq. Mereka kemudian berpapasan dengan orang-orang dari keturunan 'Adnan yang juga berhijrah dan membanjiri pemukiman baru tersebut dan memilih bermukim di wilayah teluk dari sungai Eufrat .

Bangsa Persia kembali menjadi suatu kekuatan untuk kedua kalinya pada era Ardasyir, pendiri dinasti Sasaniyah sejak tahun 226 M. Dialah yang berhasil mempersatukan Bangsa Persia dan memaksa Bangsa Arab yang bermukim disana untuk mengakui kekuasaannya. Dan ini merupakan sebab mengungsinya orang-orang Qudha'ah ke Syam dan tunduknya penduduk Hirah dan Anbar kepadanya.

Pada era Ardasyir ini pula, Judzaimah al-Wadhdhah berkuasa atas Hirah dan seluruh penduduk pedalaman Iraq dan Jazirah Arab yang terdiri dari keturunan Rabi'ah dan Mudhar. Ardasyir merasa mustahil dapat menguasai Bangsa Arab secara langsung dan mencegah mereka untuk menyerang kekuasaannya kecuali dengan cara menjadikan salah seorang dari mereka (Bangsa Arab) yang memiliki kefanatikan dan loyalitas terhadapnya dalam membelanya sebagai kaki tangannya. Disamping itu, dia juga sewaktu-waktu bisa meminta bantuan mereka untuk mengalahkan raja-raja Romawi yang amat dia takuti. Dengan demikian dia dapat menandingi tentara bentukan yang terdiri dari Bangsa Arab juga, seperti apa yang dibentuk oleh raja-raja Romawi sehingga berbenturanlah antara Bangsa Arab Syam dan Iraq. Dia juga masih mempersiapkan satu batalyon dari pasukan Persia untuk disuplai dalam menghadapi para penguasa Arab pedalaman yang membangkang terhadap kekuasaanya. Juzaimah meninggal sekitar tahun 268 M.

Sepeninggal Juzaimah, 'Amru bin 'Ady bin Nashr al-Lakhmi naik tahta dan menjadi penguasa atas Hirah dan Anbar pada tahun 268-288 M. Dia adalah raja dari dinasti Lakhmi Pertama pada era Kisra Sabur bin Ardasyir dan kekuasaan dinasti Lakhmi terus berlanjut atas kedua wilayah tersebut hingga naiknya Qubbaz bin Fairuz menjadi Kisra Persia pada tahun 448-531 M. Pada era kekuasaannya muncullah Mazdak, yang mempromosikan gaya hidup permisivisme. Tindakannya ini diikuti juga oleh Qubbaz dan kebanyakan rakyatnya. Qubadz kemudian mengirim utusan kepada raja Hirah, yaitu al-Mundzir bin Ma'us Sama' (512-554 M), dan mengajaknya untuk memilih faham ini dan menjadikannya sebagai jalan hidup . Namun al-Mundzir menolak ajakan itu dengan penuh kesatria, sehingga Qubbadz mencopotnya dan menggantikannya dengan al-Harits bin 'Amru bin Hajar al-Kindi yang merespons ajakan kepada Mazdakisme tersebut.

Qubbadz kemudian diganti oleh Kisra Anusyirwan (531-578 M) yang sangat membenci faham tersebut. Karenanya, dia kemudian membunuh Mazdak dan banyak para pengikutnya serta mengangkat kembali al-Munzir sebagai penguasa atas Hirah. Sementara itu dia terus memburu al-Harits bin 'Amr akan tetapi dia memilih bersembunyi ke pemukiman kabilah Kalb hingga meninggal di sana.

Kekuasaan Anusyirwan terus berlanjut sepeninggal al-Munzir bin Ma'us Sama', hingga naiknya an-Nu'man bin al-Munzir. Dialah orang yang memancing kemarahan Kisra, yang bermula dari adanya suatu fitnah hasil rekayasa Zaid bin 'Adiy al-Ibady. Kisra akhirnya mengirim utusan kepada an-Nu'man untuk memburunya, maka secara sembunyi-sembunyi, an-Nu'man menemui Hani' bin Mas'ud, pemimpin suku Ali Syaiban seraya menitipkan keluarga dan harta bendanya. Setelah itu, dia menghadap Kisra yang langsung menjebloskannya ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Sebagai penggantinya, Kisra mengangkat Iyas bin Qabishah Ath-Thaiy dan memerintahkannva untuk mengirimkan utusan kepada Hani' bin Mas'ud agar dia memintanya untuk menyerahkan titipan yang ada padanya namun Hani'menolaknya dengan penuh keberanian bahkan dia memaklumatkan perang melawan raja. Tak berapa lama tibalah para komandan batalyon berikut prajuritnya yang diutus oleh Kisra dalam rombongan yang membawa Iyas tersebut sehingga kemudian terjadilah antara kedua pasukan itu, suatu pertempuran yang amat dahsyat di dekat tempat yang bernama "Zi Qaar" dan pertempuran tersebut akhirnya dimenangkan oleh Banu Syaiban, yang masih satu suku dengan Hani' sementara hal ini bagi Persia merupakan kekalahan yang sangat memalukan. Kemenangan ini merupakan yang pertama kalinya bagi bangsa Arab terhadap kekuatan asing. Ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi tak berapa lama menjelang kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sebab beliau lahir delapan bulan setelah bertahtanya Iyas bin Qabishah atas Hirah.

Sepeninggal Iyas, Kisra mengangkat seorang penguasa di Hirah dari bangsa Persia yang bernama Azazbah yang memerintah selama tujuh belas tahun (614-631 M). Pada tahun 632 M tampuk kekuasaan disana kembali dipegang oleh keluarga Lakhm. Diantaranya adalah al-Munzir bin an-Nu'man yang dijuluki dengan "al-Ma'rur". Umur kekuasaannya tidak lebih dari delapan bulan sebab kemudian berhasil dikuasai oleh pasukan Muslimin dibawah komando Panglima Khalid bin al-Walid.

Raja-raja di Syam 
Manakala Bangsa Arab banyak diwarnai perpindahan berbagai kabilah, maka suku-suku Qudha'ah justru beranjak menuju kawasan Syam dan menetap disana. Mereka terdiri dari Bani Salih bin Halwan yang diantara anak keturunannya adalah Banu Dhaj'am bin Salih dan lebih dikenal kemudian dengan adh-Dhaja'imah. Mereka berhasil dijadikan oleh Bangsa Romawi sebagai kaki tangan dalam menghadang perbuatan iseng Bangsa Arab daratan dan sebagai kekuatan penopang dalam menghadapi pasukan Persia. Banyak diantara mereka yang diangkat sebagai raja dan hal itu berlangsung selama bertahun-tahun. Raja dari kalangan mereka yang paling terkenal adalah Ziyad bin al-Habulah. Periode kekuasaan mereka diperkirakan berlangsung dari permulaan abad 2 M hingga berakhirnya yaitu setelah kedatangan keluarga besar suku Ghassan yang dapat mengalahkan adh-Dhaja'imah dan merebut semua kekuasaan mereka. Atas kemenangan suku Ghassan ini, mereka kemudian diangkat oleh Bangsa Romawi sebagai raja atas Bangsa Arab di Syam dengan pusat pemerintahan mereka di kota Hauran. Dalam hal ini, kekuasaan mereka sebagai kaki tangan Bangsa Romawi disana terus berlangsung hingga pecahnya perang "Yarmuk" pada tahun 13 H. Tercatat, bahwa raja terakhir mereka Jabalah bin al-Ayham telah memeluk Islam pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin, Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhu.

Emirat di Hijaz 
Isma'il 'alaihissalam menjadi pemimpin Mekkah dan menangani urusan Ka'bah sepanjang hidupnya. Beliau meninggal pada usia 137 tahun. Sepeninggal beliau, kedua putra beliau yaitu; Nabit kemudian Qaidar secara bergilir menggantikan posisinya. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Qaidar lah yang lebih dahulu kemudian baru Nabit. Sepeninggal keduanya, urusan Makkah kemudian ditangani oleh kakek mereka Mudhadh bin 'Amru al-Jurhumi **.

** Ini bukan Mudhadh al-Jurhumi tertua yang dulu pernah disinggung dalam kisah Nabi Isma'il 'alaihissalam.

Dengan demikian beralihlah kepemimpinan ke tangan suku Jurhum dan terus berlanjut dalam waktu yang lama. Kedua putra Nabi Ismail menempati kedudukan yang terhormat di hati mereka lantaran jasa ayahanda keduanya dalam membangun Baitullah, padahal mereka tidak memiliki fungsi apapun dalam pemerintahan.

Hari-hari dan zaman pun berlalu sedangkan perihal anak cucu Nabi Isma'il masih redup tak tersentuh hingga gaung suku Jurhum pun akhirnya semakin melemah menjelang munculnya Bukhtunshar. Dipihak lain, peran politik suku 'Adnan mulai bersinar di Mekkah pada masa itu yang indikasinya adalah tampilnya 'Adnan sendiri sebagai pemimpin Bangsa Arab tatkala berlangsung serangan Bukhtunshar terhadap mereka di Zat 'irq, sementara tak seorangpun dari suku Jurhum yang berperan dalam peristiwa tersebut.

Bani 'Adnan berpencar ke Yaman ketika terjadinya serangan kedua oleh Bukhtunshar pada tahun 587 M. Sedangkan Barkhiya, seorang karib Yarmayah, Nabi dari Bani Israil mengajak Ma'ad untuk pergi menuju Hiran, sebuah wilayah di Syam. Akan tetapi setelah tekanan Bukhtunshar mulai mengendor, Ma'ad kembali lagi ke Mekkah dan setibanya disana, dia tidak menemui lagi penduduk dari suku Jurhum kecuali Jarsyam bin Jalhamah, lalu dia mengawini anaknya, Mu'anah dan melahirkan seorang anak laki-laki bernama Nizar.

Di Mekkah, keadaan suku Jurhum semakin memburuk setelah itu, dan mereka mengalami kesulitan hidup. Hal ini menyebabkan mereka menganiaya para pendatang dan menghalalkan harta yang dimiliki oleh administrasi Ka'bah. Tindakan ini menimbulkan kemarahan orang-orang dari Bani 'Adnan sehingga membuat mereka mempertimbangkan kembali sikap terhadap mereka sebelumnya. Ketika Khuza'ah melintasi Marr azh-Zhahran dan melihat keberadaan rombongan orang-orang 'Adnan yang terdiri dari suku Jurhum, dia tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut, maka atas bantuan keturunan Bani 'Adnan yang lain yaitu Bani Bakr bin 'Abdu Manaf bin Kinanah mereka lantas memerangi orang-orang Jurhum, akibatnya mereka diusir dari Mekkah. Dengan begitu, dia berhasil mengusai pemerintahan Mekkah pada pertengahan abad II M.

Tatkala orang-orang Jurhum akan mengungsi keluar Mekkah, mereka menyumbat sumur Zamzam dan menghilangkan letaknya serta mengubur didalamnya beberapa benda. Ibnu Ishaq berkata : " 'Amru bin al-Harits bin Mudhadh al-Jurhumi keluar dengan membawa pintalan Ka'bah dan Hajar Aswad lalu mengubur keduanya di sumur Zamzam, kemudian dia dan orang-orang Jurhum yang ikut bersamanya berangkat menuju Yaman. Namun betapa mereka sangat tertekan dan sedih sekali karena harus meninggalkan kota Mekkah dan kekuasaan yang pernah mereka raih disana. Untuk mengenang hal itu, 'Amru merangkai sebuah sya'ir :

Seakan tiada pelipur lara lagi, juga para pegadang antara Hujun dan Shafa di kota Mekkah
Sungguh, kamilah dulu penghuninya
Namun oleh perubahan malam dan dataran berdebu, kami dibinasakan

Periode Ismail 'alaihissalam diprediksi berlangsung sekitar dua puluh abad sebelum Masehi. Dengan demikian masa keberadaan Jurhum di Mekkah berkisar sekitar dua puluh satu abad sedangkan masa kekuasaan mereka adalah selama dua puluh abad. Khuza'ah menangani sendiri urusan administrasi Mekkah tanpa menyertakan peran Bani Bakr, kecuali terhadap kabilah-kabilah Mudhar yang diberikan kepada mereka tiga spesifikasi :

Memberangkatkan orang-orang (yang berhaji) dari 'Arafah ke Muzdalifah, dan membolehkan mereka berangkat dari Mina pada hari Nafar (kepulangan dari melakukan haji tersebut) ; urusan ini ditangani oleh Bani al-Ghauts bin Murrah, dari keturunan Ilyas bin Mudhar. Mereka ini dijuluki dengan sebutan "Shûfah"; makna dari pembolehan tersebut adalah : bahwa orang-orang yang berhaji tersebut tidak melempar pada hari Nafar hingga salah seorang dari kaum "Shûfah" tersebut melakukannya terlebih dulu, kemudian bila semua telah selesai melaksanakan prosesi ritual tersebut dan mereka ingin melakukan nafar/pulang dari Mina, kaum "Shûfah" mengambil posisi disamping kedua sisi (jumrah) 'Aqabah, dan ketika itu, tidak boleh seorang pun lewat kecuali setelah mereka, kemudian bila mereka telah lewat barulah orang-orang diizinkan lewat. Tatkala kaum "Shûfah" sudah berkurang keturunannya/musnah, tradisi ini dilanjutkan oleh Bani Sa'd bin Zaid Munah dari suku Tamim.

Melakukan ifâdhah (bertolak) dari Juma', pada pagi hari Nahr (hari penyembelihan hewan qurban) menuju Mina ; urusan ini diserahkan kepada Bani 'Udwan.

Merekayasa bulan-bulan Haram (agar tidak terkena larangan berperang didalamnya-penj); urusan ini ditangani oleh Bani Tamim dari keturunan Bani Kinanah.

Periode kekuasaan Khuza'ah berlangsung selama tiga ratus tahun. Pada periode ini kaum 'Adnan menyebar di kawasan Najd, pinggiran 'Iraq dan Bahrain. Sedangkan keturunan Quraisy ; mereka hidup sebagai Hallul (suku yang suka turun gunung) dan Shirm (yang turun gunung guna mencari air bersama unta mereka) dan menyebar ke pinggiran kota Mekkah dan menempati rumah-rumah yang berpencar-pencar di tengah kaum mereka, Bani Kinanah. Namun begitu, mereka tidak memiliki wewenang apa pun baik dalam pengurusan kota Mekkah ataupun Ka'bah hingga kemunculan Qushai bin Kilab.

Mengenai jatidiri Qushai ini, diceritakan bahwa bapaknya meninggal dunia saat dia masih dalam momongan ibunya, kemudian ibunya menikah lagi dengan seorang laki-laki dari Bani 'Uzrah yaitu Rabi'ah bin Haram, lalu ibunya dibawa ke negeri asalnya di pinggiran Kota Syam. Ketika Qushai beranjak dewasa, dia kembali ke kota Mekkah yang kala itu diperintah oleh Hulail bin Habasyah dari Khuza'ah lalu dia meminang putri Hulail, Hubba maka gayung pun bersambut dan keduanya kemudian dinikahkan. Ketika Hulail meninggal dunia, terjadi perang antara Khuza'ah dan Quraisy yang berakhir dengan kemenangan Qushai dan penguasaannya terhadap urusan kota Mekkah dan Ka'bah.

Ada tiga versi riwayat, berkaitan dengan sebab terjadinya perang tersebut : 
Bahwa ketika Qushai telah beranak pianak, harta melimpah, pangkatnya semakin tinggi dan bersamaan dengan itu Hulail telah tiada, dia menganggap dirinya lah yang paling berhak atas urusan Ka'bah dan kota Mekkah daripada Khuza'ah dan Bani Bakr sebab suku Quraisy adalah pemuka dan pewaris tunggal keluarga Nabi Ismail lantas dia membicarakan hal ini dengan beberapa pemuka Quraisy dan Bani Kinanah dalam upaya mengusir Khuza'ah dan Bani Bakr dari kota Mekkah. Idenya tersebut disambut baik oleh mereka.

Bahwa Hulail, sebagaimana pengakuan Khuza'ah, berwasiat kepada Qushai agar mengurusi Ka'bah dan Mekkah.

Bahwa Hulail menyerahkan urusan Ka'bah kepada putrinya, Hubba dan mengangkat Abu Ghibsyan al-Khuza'i sebagai wakilnya lantas kemudian dia yang mengurusi Ka'bah tersebut mewakili Hubba. Tatkala Hulail meninggal, Qushai berhasil menipunya dan membeli kewenangannya atas Ka'bah tersebut dengan segeriba arak, atau sejumlah onta yang berkisar antara tiga ekor hingga tiga puluh ekor. Khuza'ah tidak puas dengan transaksi jual beli tersebut dan berupaya menghalang-halangi Qushai atas penguasaannya terhadap urusan Ka'bah tersebut. Menyikapi hal itu, Qushai mengumpulkan sejumlah orang dari Quraisy dan Bani Kinanah untuk tujuan mengusir mereka dari kota Mekkah, maka mereka menyambut hal itu.

Apa pun alasannya, setelah Hulail meninggal dunia dan kaum Shûfah menjalani aktivitas mereka tersebut, maka Qushai tampil bersama orang-orang Quraisy dan Kinanah di dekat 'Aqabah sembari berseru: " Kami lebih berhak daripada kalian ! ". Karena pelecehan ini, mereka lantas memeranginya namun Qushai berhasil mengalahkan mereka dan merampas semua kekuasaan mereka. Khuza'ah dan Bani Bakr mengambil sikap tidak menyerang setelah itu, maka Qushailah akhirnya yang malah lebih dahulu mengambil inisiatif penyerangan dan sepakat untuk memerangi mereka. Maka bertemulah kedua kekuatan tersebut dan terjadilah peperangan yang amat dahsyat tetapi kedua musuhnya tersebut justru menjadi mangsa yang empuk baginya. Akibat tekanan ini, mereka mengajaknya untuk berdamai dan bertahkim kepada Ya'mur bin 'Auf, salah seorang dari Bani Bakr. Ya'mur memutuskan bahwa Qushai lah yang berhak atas Ka'bah dan urusan kota Mekkah daripada Khuza'ah. Begitu juga diputuskan, setiap tetes darah yang ditumpahkan oleh Qushai maka akan menjadi tanggung jawabnya sendiri sedangkan setiap nyawa yang melayang oleh tangan Khuza'ah dan Bani Bakr harus dibayar dengan tebusan, serta (diputuskan juga) bahwa Qushai harus dibebastugaskan dari pengelolaan atas Ka'bah. Maka dari sejak itu, Ya'mur dijuluki sebagai asy-Syaddakh (Sang Pemecah masalah). Kekuasaan Qushai atas penanganan Mekkah dan Ka'bah berlangsung pada pertengahan abad V Masehi yaitu tahun 440 M. Dengan demikian, jadilah Qushai sekaligus suku Quraisy memiliki kekuasaan penuh dan otoritas atas Mekkah serta pelaksana ritual keagamaan bagi Ka'bah yang selalu dikunjungi oleh orang-orang Arab dari seluruh Jazirah.

Di antara langkah yang diambil oleh Qushai adalah memindahkan kaumnya dari rumah-rumah mereka ke Mekkah dan memberikan mereka lahan yang dibagi menjadi empat bidang, lantas menempatkan setiap suku dari Quraisy ke lahan yang telah ditentukan bagi mereka serta menetapkan jabatan sebelumnya kepada mereka yang pernah memegangnya yaitu suku Nasa-ah, Ali Shafwan, 'Udwan dan Murrah bin 'Auf sebab dia melihat sudah selayaknya dia tidak merubahnya.

Qushai banyak meninggalkan peninggalan-penginggalan sejarah; diantaranya adalah didirikannya Darun Nadwah disamping utara Masjid Ka'bah (Masjidil Haram), dan menjadikan pintunya mengarah ke masjid. Darun Nadwah merupakan tempat berkumpulnya orang-orang Quraisy yang didalamnya dibahas hal-hal yang sangat strategis bagi mereka. Oleh karena itu, ia mendapatkan tempat tersendiri dihati mereka karena dapat mencetak kata sepakat diantara mereka dan menyelesaikan sengketa secara baik.

Diantara wewenang Qushai dalam mengelola pemerintahannya adalah sebagai berikut : 
Mengepalai Darun Nadwah
; Dalam Darun Nadwah ini mereka berembuk tentang masalah-masalah yang sangat strategis disamping sebagai tempat mengawinkan anak-anak perempuan mereka.

Pemegang panji ; Panji perang tidak akan bisa dipegang oleh orang lain selainnya termasuk anak-anaknya dan harus berada di Darun Nadwah.

Qiyadah (wewenang memberikan izin perjalanan)
; Kafilah dagang atau lainnya tidak akan bisa keluar dari Mekkah kecuali dengan seizinnya atau anak-anaknya.

Hijabah yaitu wewenang atas Ka'bah
; pintu Ka'bah tidak boleh dibuka kecuali olehnya begitu juga dalam seluruh hal yang terkait dengan pelayanannya.

Siqayah (wewenang menangani masalah air bagi jemaah haji)
; mereka mengisi penuh galon-galon air yang disisipkan didekatnya buah kurma dan zabib (sejenis anggur kering). Dengan bagitu jemaah haji yang datang ke Mekkah bisa meminumnya.

Rifadah (wewenang menyediakan makanan); mereka menyediakan makanan khusus buat tamu-tamu mereka (jemaah haji). Qushai mewajibkan semacam kharaj/ pajak kepada kaum Quraisy yang dikeluarkan pada setiap musim haji dan hal tersebut kemudian dipergunakan untuk membeli persediaan makanan buat jemaah haji, khususnya bagi mereka yang tidak memiliki bekal yang cukup.

Semua hal tersebut adalah menjadi wewenang Qushai, sedangkan anaknya 'Abdu Manaf juga otomatis telah memiliki kharisma dan kepemimpinan di masa hidupnya, dan hal itu diikuti juga oleh adiknya 'Abdud Dar maka berkatalah Qushai kepadanya : " aku akan menghadapkanmu dengan kaum kita meskipun sebenarnya mereka telah menghormatimu". Kemudian Qushai berwasiat kepadanya agar dia memperhatikan wewenangnya dalam mengemban mashlahat kaum Quraisy, lalu dia berikan kepadanya wewenang atas Darun Nadwah, hijabah, panji, siqayah dan rifadah. Qushai termasuk orang yang tidak pernah mengingkari dan mencabut kembali apa yang telah terlanjur diucapkan dan diberikannya dan begitulah semua urusannya semasa hidup dan setelah matinya yang diyakininya dan selalu konsisten terhadapnya. Tatkala Qushai meninggal dunia, anak-anaknya dengan setia menjalankan wasiatnya dan tidak tampak perseteruan diantara mereka, akan tetapi ketika 'Abdu Manaf meninggal dunia, anak-anaknya bersaing keras dengan anak-anak paman mereka, 'Abdud Dar (saudara-saudara sepupu mereka) dalam memperebutkan wewenang tersebut. Akhirnya, suku Quraisy terpecah menjadi dua kelompok bahkan hampir saja terjadi perang saudara diantara mereka, untunglah hal itu mereka bawa ke meja perundingan. Hasilnya, wewenang atas siqayah dan rifadah diserahkan kepada anak-anak 'Abdu Manaf sedangkan Darun Nadwah, panji dan hijabah diserahkan kepada ana-anak 'Abdud Dar. Anak-anak 'Abdu Manaf kemudian memilih jalan undian untuk menentukan siapa diantara mereka yang memiliki kewenangan atas siqayah dan rifadah. Undian itu akhirnya jatuh ketangan Hasyim bin 'Abdu Manaf sehingga dialah yang berhak atas pengelolaan keduanya selama hidupnya. Dan ketika dia meninggal dunia, wewenang tersebut dipegang oleh adiknya, al-Muththolib bin 'Abdu Manaf yang diteruskan kemudian oleh 'Abdul Muththolib bin Hasyim bin 'Abdu Manaf, kakek Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam . Kewenangan tersebut terus dilanjutkan oleh keturunannya hingga datangnya Islam dimana ketika itu kewenangannya berada ditangan al-'Abbas bin 'Abdul al-Muththolib. Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa Qushai sendirilah yang membagi-bagikan wewenang atas urusan-urusan tersebut diantara anak-anaknya untuk kemudian setelah dia meninggal tinggal dijalankan oleh mereka.

Selain itu suku Quraisy juga mempunyai kewenangan yang lain yang mereka bagi-bagi diantara mereka, yaitu masing-masing boleh membentuk negara-negara kecil, bahkan bila boleh diungkapkan dengan ungkapan yang pas saat ini adalah semacam semi negara demokrasi. Instansi-instansi yang ada, begitu juga dengan bentuk pemerintahannya hampir menyerupai bentuk pemerintahan yang ada sekarang yaitu sistim parlemen dan majelis-majelisnya. Berikut penjelasannya :

Al-Isar : penanganan bejana-bejana tempat darah ketika terjadi sumpah, dan urusan ini diserahkan kepada suku Jumah.

Tahjirul amwal (pembekuan harta) : yaitu diperuntukkan dalam tata cara penyerahan qurban/sesajian dan nazar-nazar kepada berhala-berhala mereka, begitu juga dalam memecahkan sengketa-sengketa dan perkerabatan, dan urusan ini diserahkan kepada Bani Sahm.

Syura : yang diserahkan kepada Bani Asad.

Al-Asynaq : peraturan dalam menangani kasus diyat (denda bagi tindak kriminal) dan gharamat (denda pelanggaran perdata), dan urusan ini diserahkan kepada Bani Tayyim.

Al-'iqab : pemegang panji kaum dan ini diserahkan kepada Bani Umayyah.

Al-Qabbah : peraturan kemiliteran dan menunggang kuda. Hal ini diserahkan kepada Bani Makhzum.

As-Sifarah (kedutaan) : Hal ini diserahkan kepada Bani 'Ady ***.

*** Lihat; "Tarikh ardhil Quran", II/104, 105, 106 . Riwayat yang masyhur adalah bahwa yang membawa panji adalah Bani 'Abdid Dar, sedang kepemimpinan berada ditangan Bani Umayyah.

Kekuasaan di seluruh negeri Arab 
Di bagian muka telah kami singgung tentang kepindahan kabilah-kabilah Qahthan dan 'Adnan, begitu juga dengan kondisi negeri-negeri Arab yang terpecah-pecah diantara mereka sendiri; Kabilah-kabilah yang berdekatan dengan Hirah tunduk kepada raja Arab di Hirah, dan suku yang tinggal di pedalaman Syam tunduk terhadap raja Ghassan. Hanya saja ketundukan mereka ini sekedar nama (bersifat simbolis) bukan secara riil di lapangan. Sedangkan mereka yang berada di daerah-daerah pedalaman dalam jazirah Arab mendapatkan kebebasan mutlak.

Sebenarnya, setiap kabilah-kabilah tersebut memiliki para pemuka yang mereka angkat sebagai pemimpin kabilah, begitu juga kabilah ibarat pemerintah mini yang landasan berpijaknya adalah kesatuan ras dan kepentingan yang saling menguntungkan dalam menjaga secara bersama tanah air dan membendung serangan lawan.

Posisi para pemuka kabilah tersebut di tengah pengikutnya tak ubahnya seperti posisi para raja. Jadi, setiap kabilah selalu tunduk kepada pendapat pemimpinnya baik dalam kondisi damai ataupun perang dan tidak ada yang berani membantahnya. Kekuasaannya dalam memimpin dan memberikan pendapat bak seorang diktator yang kuat sehingga bila ada sebagian yang marah maka beribu-ribu pedang berkilatan lah yang bermain dan ketika itu tak seorang pun yang bertanya kenapa hal itu terjadi. Anehnya, karena persaingan dalam memperebutkan kepemimpinan terjadi diantara sesama keturunan satu paman sendiri kadang membuat mereka sedikit bermuka dua alias over acting dihadapan orang banyak. Hal itu tampak dalam prilaku-prilaku dalam berderma, menjamu tamu, menyumbang, berlemah lembut, menonjolkan keberanian dan menolong orang lain yang mereka lakukan semata-mata agar mendapatkan pujian dari orang, khususnya lagi para penyair yang merangkap penyambung lidah kabilah pada masa itu. Disamping itu, mereka lakukan juga, agar derajat mereka lebih tinggi dari para pesaingnya.

Para pemuka dan pemimpin kabilah memiliki hak istimewa sehingga mereka bisa mengambil bagian dari harta rampasan tersebut ; baik mendapat bagian mirba', shaffi, nasyithah atau fudhul . Dalam menyifati tindakan ini, seorang penyair bersenandung :

Bagimu bagian mirba', shaffi, nasyithah, dan fudhul
Dalam kekuasaanmu terhadap kami

Yang dimaksud dengan mirba' adalah seperempat harta rampasan. Ash-Shaffi adalah bagian yang diambil untuk dirinya sendiri. An-Nasyithah adalah sesuatu yang didapat oleh pasukan di jalan sebelum sampai tujuan. Sedangkan al-Fudhul adalah bagian sisa dari harta rampasan yang tidak dapat dibagikan kepada individu-individu para pejuang seperti keledai, kuda dan lain-lain.

Kondisi Politik 
Setelah.kami jelaskan tentang para penguasa di negeri Arab, maka akan kami jelaskan sedikit gambaran tentang kondisi politik yang mereka alami. Tiga wilayah yang letaknya berdampingan dengan negeri asing, kondisinya sangat lemah dan tidak pernah berubah positif. Mereka dikelompokkan kepada golongan tuan-tuan atau para budak, para penguasa atau rakyat. Para tuan-tuan, terutama bila mereka orang asing, memiliki seluruh kambing sedangkan para budak, sebaliknya yaitu mereka semua wajib membayar upeti. Dengan ungkapan lain yang lebih jelas, bahwa rakyat ibarat posisi sebuah sawah yang selalu mendatangkan hasil buat dipersembahkan kepada pemerintah yang memanfaatkannya sebagai sarana untuk bersenang-senang, melampiaskan hawa nafsu, keinginan-keinginan, kelaliman dan upaya memusuhi orang. Sementara rakyat itu sendiri tenggelam dalam kebutaan, hidup tidak menentu, dan saat kelaliman menimpa mereka, tak seorangpun diantara mereka yang mampu mengadu, bahkan mereka diam tak bergerak dalam menghadapi kelaliman dan beraneka macam siksaan . Hukum kala itu benar-benar bertangan besi, sedangkan hak-hak asasi hilang ternoda. Adapun kabilah-kabilah yang berdampingan dengan kawasan ini, mengambil posisi ragu dan oleng oleh hawa nafsu dan tujuan pribadi masing-masing ; terkadang mereka terdaftar sebagai penduduk Iraq tapi terkadang juga terdaftar sebagai penduduk Syam. Kondisi kabilah-kabilah dalam Jazirah Arab tersebut benar-benar berantakan dan tercerai berai, masing-masing lebih memilih untuk berselisih dalam masalah suku, ras dan agama. Seorang dari mereka berdesah :

Aku tak lain dari seorang pelacak jalan, jika ia tersesat
Maka tersesatlah aku, dan jika sampai ketujuan maka sampai pulalah aku

Mereka tidak lagi memiliki seorang raja yang dapat menyokong kemerdekaan mereka, atau seorang penengah tempat dimana mereka merujuk dan mengadu dikala ditimpa kesusahan.

Sedangkan pemerintahan Hijaz sebaliknya, mata seluruh orang-orang Arab tertuju kepadanya dan mendapatkan penghargaan dan penghormatan dari mereka. Mereka menganggapnya sebagai pemimpin dan pelaksana keagamaan. Realitasnya, memang pemerintahan tersebut merupakan akumulasi antara kepemimpinan keduniawiaan, pemerintahan dalam arti yang sebenarnya dan kepemimpinan keagamaan. Ketika mengadili persengketaan yang terjadi antar orang-orang Arab, pemerintahan tersebut bertindak mewakili kepemimpinan keagamaan dan ketika mengelola urusan masjid Haram dan hal-hal yang berkaitan dengannya, maka ia lakukan sebagai pemerintah yang mengurusi kemashlahatan orang-orang yang berkunjung ke Baitullah/Ka'bah, begitu juga ia masih menjalankan syari'at Nabi Ibrahim. Pemerintahannya juga, sebagaimana kami singgung sebelumnya, memiliki instansi-instansi dan bentuk-bentuk yang menyerupai sistim parlemen, namun pemerintahan ini sangat lemah sehingga tak mampu memikul tanggungjawabnya sebagaimana saat mereka menyerang orang-orang Habasyah dulu.



   
Share:

Jadwal Sholat Wilayah Pekanbaru

Translate / Kamus

Foto

Foto
MY FAMILY

Statistik Blog

Diberdayakan oleh Blogger.

Iklan

Waktu adalah Pedang